HeadlineOpini

Sharing Opini untuk Negeri

PALEMBANG – Kegerahan mahasiswa terhadap kebijakan publik oleh pemerintah yang sering berubah dan inkonsistensi adalah wajar. Situasi Covid-19 saat ini menyebabkan kebijakan publik berubah-ubah. Sehingga, kesehatan dan ekonomi menjadi sasaran isu strategis dalam menjalankan roda pemerintahan. Semua diluar dugaan.

Infografis dalam bentuk flyer yang dibuat dan disebarkan oleh BEM Universitas Indonesia mengajarkan kepada publik untuk nostalgia politik tahun 2019. Istilah cebong vs kampret dan banyak lagi narasi menyedihkan demokrasi Indonesia. Betapa krisis keteladanan di negeri ini sangat menyedihkan.

Dalam konteks kebijakan publik berubah-ubah saat ini dalam kacamata politik birokrasi terkadang memang seperti itu. Perubahan progam terkesan hanya berganti baju. Politik anggaran yang sulit ditebak arahannya, karena melibatkan pihak swasta. Semua menyatu dalam bingkai kepentingan bersama meraih keuntungan bagi kelompok kepentingan.

Dalam konteks kritik mahasiswa seringkali senyaring apapun mahasiswa bersuara pihak eksekutif terkadang tidak menggubris. Karena anggapan pihak eksekutif gerakan mahasiswa bercampur kepentingan politik. Kemurnian gerakan tidak tampak mewakili kepentingan publik. Bahkan gerakan mereka cenderung kenal kepentingan partai dan lawan politik. Ada tapi seperti tiada. Dalam konteks marketing politik itulah, gerakan melalui media sosial adalah pilihan tepat ditengah berbagai kepentingan. Tema publikasi yang dipasarkan adalah “Jokowi The King of Lip Service: Etika Pergerakan Mahasiswa”. Pilihan narasi ini bentuk berontak di tengah pandemi dan berpolitik dunia maya. Inilah bentuk kerumitan situasi, lingkungan dan pola gerakan.

Di tengah hubungan rumit inilah control socials tidak berjalan dengan baik karena terjadi sumbatan politik terhadap aspirasi yang diaduk dengan kepentingan, fanatisme kelompok, dan ideoogi. Kekacauan ini akibat kosongmya perut dan pangan keluarga. Apapun yang menjadi isu dan gerakan mahasiswa akan berdampak pada sosial dan politik serta menggeser kebijakan publik yang dirasa tidak sesuai keinginan publik. Jawabannya untuk pembangunan maka para pemangku kepentingan, mahasiswa, tokoh publik, dan legislatif harus duduk bersama memikirkan arah kebijakan nasional jika tidak maka tinggal menuggu boom waktu. Terjadi kejadian socials chaos yang berdampak luas.

Hal lain dalam situasi ini evaluasi, peta jalan, cetak biru, tipologi, dan model sistem pendidikan kita penuh dengan muatan global yang justru sulit diimplementasikan. Mahasiswa misalnya apakah produk dari sistem pendidikan di perguruan tinggi. Tentu tidak sepenuhnya benar. Artinya pendidikan di kelas dan daring sebagai instrumen pendewasaan mahasiswa akan ilmu dan lingkungan sosial.

Justru dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 terkait pendidikan Tinggi Pasal 13 “Mahasiswa sebagai anggota Sivitas Akademika diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri di Perguruan Tinggi untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi, dan/atau profesional.

Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara aktif mengembangkan potensinya dengan melakukan pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, dan/atau penguasaan, pengembangan, dan pengamalan suatu cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk menjadi ilmuwan, intelektual, praktisi, dan/atau profesional yang berbudaya.
Mahasiswa memiliki kebebasan akademik dengan mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik.”

Setidaknya ada point mahasiswa adalah insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dan dituntut untuk berbudaya. Sehingga, walau dalam politik gagasan sudah seyogyanya dapat disampaikan dengan cara dan materi yang baik. Dalam arti tidak mengandung unsur menghina dan menjatuhkan kepribadian orang lain. Walaupun dalam berpikir tidak ada batasan etika. Setidaknya kesadaran moral etis sosial dan individu pembuka jalan menuju kearifan lokal. Kelas pada pasal 13 itu bahwa “Mahasiswa berkewajiban menjaga etika dan menaati norma Pendidikan Tinggi untuk menjamin terlaksananya Tridharma dan pengembangan budaya akademik”.

Mungkin bagai makan buah simalakama, dimakan mati ayah tidak dimakan mati ibu.. Namun, kesantunan, ketimuran, kemuliaan dan kesadaran kolektif setidaknya tetap diutamakan. Mungkin untuk sementara dengan cara bermedia sosial adalah eranya.

HIDUP MAHASISWA. HARI INI SAATNYA PEMERINTAH BERSAMA MAHASISWA UNTUK TUJUAN YANG SAMA.

Ditulis oleh: AFRI ANTONI (Akademisi UIN Raden Patah Palembang)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button