Opini

Iwan Wahyudi Kritik Dugaan Pungli Sekolah

BANYUWANGI – Pemerintah di bawah komando Presiden Jokowi tengah serius dalam upaya pemberantasan pungutan liar (pungli) sampai ke akar-akarnya. Praktik pungli ini telah memberikan dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bangsa Indonesia. Hampir di setiap institusi dan instansi tingkat pusat maupun daerah, ada saja oknum tak bertanggung jawab yang melakukan pungli dengan jumlah yang mencapai ribuan. Kondisi ini telah mengantarkan Indonesia pada ambang batas darurat pungli.

Salah satu contoh praktik pungli yang saat ini dilakukan dengan lebih rapi adalah dugaan praktik pungli di sekolah. Menurut Iwan Wahyudi, seorang aktivis pendidikan, praktik pungli ini dikemas seolah-olah berdasarkan kesepakatan antara pihak sekolah, komite sekolah, dan orangtua/wali murid. Padahal, dalam Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, jelas disebutkan bahwa pungutan adalah penarikan uang yang bersifat wajib/mengikat, sedangkan sumbangan adalah pemberian sukarela yang tidak mengikat.

Praktik pungli di sekolah juga melibatkan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan lain-lain. Praktik penebusan buku Lembar Kerja Siswa (LKS) juga sebenarnya sudah diatur dalam peraturan pemerintah No. 17 Tahun 2010 Jo PP No. 66 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Peraturan ini melarang pendidik dan tenaga kependidikan menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan. Mereka juga dilarang memungut biaya untuk memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan, serta dilarang melakukan pungutan kepada peserta didik yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Terkait hal ini, Iwan Wahyudi menegaskan bahwa pendidik, tenaga kependidikan, dan komite sekolah di satuan pendidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang melakukan kegiatan pengadaan atau menjual buku LKS, perlengkapan pelajaran, bahan pelajaran, serta pakaian seragam di tingkat pendidikan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Praktik-praktik semacam ini menciptakan ketidakseimbangan dan ketidakadilan, di mana masyarakat atau orang tua siswa yang tidak mampu terpaksa dihadapkan pada tekanan dan dipungut demi kepentingan sekolah anak-anak mereka. Padahal, tujuan pendidikan seharusnya tidak hanya berbicara tentang uang atau kebutuhan fisik semata, tetapi juga tentang membangun akhlak, karakter, mental positif, adab, kejujuran, dan taat aturan.

Memaksa mereka yang tidak mampu untuk menyumbang, membeli LKS, atau melakukan tindakan-tindakan non-prosedur lainnya adalah perbuatan yang tidak patut, bahkan dapat disebut paksaan. Dalam agama, paksaan atau pungutan semacam ini jelas dianggap haram.

Dalam upaya memberantas pungli di sekolah dan di semua sektor, pemerintah di bawah komando Presiden Jokowi perlu melibatkan seluruh stakeholder, melakukan investigasi menyeluruh, dan menegakkan hukum dengan tegas terhadap pelaku pungli. Langkah-langkah preventif juga perlu dilakukan, seperti sosialisasi peraturan, peningkatan kesadaran masyarakat, dan pembentukan mekanisme pengawasan yang efektif. Hanya dengan komitmen dan kerjasama yang kuat dari semua pihak, pemberantasan pungli sampai ke akar-akarnya dapat terwujud, sehingga bangsa Indonesia dapat membangun sistem yang adil, transparan, dan terbebas dari praktik pungli yang merugikan.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button