Gaya HidupHeadline

Gedruk Bumi Jember, Energi Danyang dan Doa Kuasa Langit

JEMBER, TI – Dusun Tegalgayam, Desa Kemuningsari Kidul, Kecamatan Jenggawah, Jember, menjadi saksi bagiamana gotong-royong mampu menjadi kekuatan besar untuk memajukan budaya lokal. “Gedruk Bumi Jember” (GBJ), sebuah even multibentuk, berhasil digelar oleh kaum muda Tegalgayam dan pengurus Dewan Kebudayaan Jember (DeKaJe).

Meskipun bukan termasuk even yang didanai Pemkab Jember dan tidak termasuk agenda Wayahe Fest, GBJ yang menghabiskan biaya lebih dari 30 juta itupun bisa berlangsung dengan gayeng, meriah, dan membahagiakan banyak pelaku seni dan rakyat desa.

Tentu, dalam gelaran ini tidak ada lampu warna-warni dan kemewahan sebagaimana festival seni yang dilaksanakan Pemkab Jember. Namun, dari Tegalgayam, kesadaran untuk bergerak bersama pelaku seni dan rakyat semakin memguat.

Menggugat Kebijakan Budaya Jember

Untuk membuka ruang diskusi kritis, DeKaJe memasukkan agenda diskusi “Gugat Kebijakan Budaya Jember”. Diskusi yang sekaligus membuka GBJ dilaksanakan pada 10.00 WIB, di rumah Mbah Daim (alm), salah satu tokoh nasionalis Jember.

Beberapa pihak yang hadir antara lain pengurus DeKaJe, Badan Kebudayaan Nasional (BKN), SRAWUNG SASTRA, REPDEM, penggiat literasi, dan para seniman dari wilayah kecamatan di Jember. Hadir pula seorang bankir sekaligus peneliti seni Banyuwangi, Elvin Hendratha.

Diskusi ini menyoroti “ketidakjelasan kebijakan budaya di Jember dari beberapa masa kepemimpinan yang lalu hingga kepemimpinan saat ini.”

Menurut Eko Suwargono, Ketua Umum DeKaJe, kebijakan budaya saat ini tidak menguntungkan para pelaku seni dan budaya di tingkat bawah. Belum lagi soal adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja ingin membentuk pengurus DeKaJe karena merasa dekat penguasa saat ini.

“Meskipun demikian, DeKaJe dan jejaringnya tidak pernah takut dan patah semangat. Alih-alih,  terus berusaha untuk bergerak, sekecil apapun. Saya juga mengajak semua kekuatan dan gerakan untuk gotong-royong untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, termasuk untuk terus mengkritisi kebijakan Pemkab Jember,” kata Eko.

Bagi Didit ‘Setan’, Ketua BKN Jember, ketidakberesan itu harus diurai dan pelaku seni dan budaya harus membangun komunikasi dengan pihak legislatif agar bisa menyampaikan masukan terkait pemajuan kebudayaan kepada Pemkab.

Sementara, Gunawan dari Srawung Sastra, menekankan perlunya kerjasama strategis semua elemen gerakan kebudayaan di Jember, termasuk penggiat literasi, agar bisa menjadi kekuatan strategis dalam menghadapi kebijakan yang masih tidak jelas. “Para pelaku juga harus kritis terhadap ajakan untuk menjadi pengurus DeKaJe yang baru karena pihak yang berkepentingan tidak mau diajak dialog,” tambahnya.

Heri, penggiat literasi dari Panti menambahkan bahwa budaya harus menjadi kekuatan untuk menyebarluaskan gagasan kerakyatan yang mencerdaskan dan berdaya guna.

“Sikap jelas harus diambil, mau kompromi dengan penguasa yang tidak berpihak kepada pemajuan budaya atau melawan dalam garis perjuangan  dan gerakan yang lebih nyata. Tentu saja pilihan strategis memang harus dibuat dan para pelaku pun harus siap berbuat dan bergerak,” ungkap Heri.

Beberapa perwakilan seniman dari Sukowono, Panti, Sumberbaru, Jenggawah, Umbulsari, Wuluhan, dan yang lain juga mengungkapkan pandangan mereka terkait kebijakan budaya Jember yang masih terkesan pilih kasih dan hanya menguntungkan sanggar tertentu.

Mereka juga mengungkapkan bahwa pernyataan tertulis Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jember dalam RPJMD (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah) bahwa mereka telah membina lebih dari 200 sanggar/komunitas seni patut dipertanyakan keabsahannya. Karena kenyataannya banyak sanggar yang belum pernah mendapatkan perhatian dari Dinas.

Elvin Hendratha, penulis buku “Angklung, Tabung Musik Blambangan” pun berbagi cerita tentang pengalaman pelaku seni di Banyuwangi yang juga harus banyak bersiasat dalam menghadapi permainan birokrasi kebudayaan. Elvin yang juga pembina Angklung Joyokaryo Banyuwangi mengapresiasi kegiatan DeKaJe yang mampu bekerjasama dengan para funder di tingkat masyarakat dan mampu merangkul para pelaku seni dam budaya.

Diskusi diakhiri dengan komitmen untuk terus membangun kerjasama strategis dalam bentuk diskusi dan menggelar event bersama. Selain itu, bagi pihak-pihak yang memiliki akses terhadap wakil rakyat terus mengusahakan dialog untuk secara serius menyoroti masalah kebijakan budaya.

Gelar Jaranan “Turonggo Seto”

Pukul 13.00 WIB musik jaranan Turonggo Seto pimpinan Pak Siswanto dari Tegalgayam, bertalu-talu, memanggil warga untuk berkumpul. Segera saja panitia membagi masker untuk para penonton serta mengecek suhu tubuh mereka. Mungkin karena sudah lama tidak menikmati pertunjukan karena pandemi, warga pun segera memenuhi kalangan.

Para jathil wedok (perempuan) segera menarikan gerakan-gerakan lincah membuka siang yang cukup panas. Kehadiran mereka menjadi harapan masih berkembangnya kesenian rakyat di tengah-tengah perubahan sosio-kultural masyarakat. Ini adalah kontribusi penting generasi muda terhadap pemajuan budaya di tengah-tengah semarak modernitas yang mereka rayakan.

Adegan berikutnya adalah “jaranan buto”. Gerakan-gerakan gagah menjadi karakteristik buto yang diselingi dengan adegan komedi. Suasana segar di tengah-tengah cuaca panas pun mengalir dalam riuh penonton. Mayoritas penarinya pun generasi muda yang begitu bersemangat untuk berkesenian.

Adegan penutup adalah caplokan yang cukup atraktif. Tidak hanya penari laki-laki, tetapi juga perempuan. Partisipasi estetik ini bisa dibaca sebagai penanda adanya usaha kesetaraan ala seniman rakyat.

Yang pasti, caplokan yang mereka mainkan seperti mengirimkan kabar kepada para penguasa bahwa para seniman rakjat masih hidup dan siap bergerak mengatasi hambatan dan permasalahan yang mereka hadapi, termasuk ketidakberesan kebijakan budaya yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Santunan Anak Yatim

Selepas Isya, dilaksanakan “Santunan Anak Yatim” oleh keluarga Mas Sofyan dan warga lainnya. Acara ini merupakan tradisi di masyarakat desa yang menarik untuk terus diselenggarakan dalam acara-acara kebudayaan berikutnya. Ini juga menandakan bahwa gerakan budaya bisa memasukkan ajaran-ajaran agama yang dipraktikkan dalam tradisi masyarakat sebagai bagian penting untuk memanusiakan manusia.

Menurut Eko Suwargono kegiatan santunan ini harus ditradisikan dalam semua kegiatan budaya yang digerakkan DeKaJe bersama pelaku seni di tingkat bawah. Relasi konstruktif antara kegiatan budaya dan religi akan membentuk ekosistem yang saling mendukung dan memahami sehingga sudah bukan saatnya mengkontraskan gerakan budaya dan keyakinan beragama.

Gelar Janger “Lestari Budaya”

Selepas “Santunan Anak Yatim” dan sambutan dari beberapa pihak, gelar janger pun dimulai. Para pelaku janger dari “Lestari Budaya” Babatan Jenggawah, pimpinan Pak Bedor, menyuguhkan cerita “Minak Jinggo Winisudo”.

Sebelum masuk ke cerita, penonton disuguhi beberapa hiburan pembuka, di antaranya tari Bali, gandrung, tari Garuda dan janger berdendang. Semua garapan tersebut menunjukkan betapa beragamnya kesenian yang hidup di Jember. Apakah itu kesenian asli Jember? Tentu bukan, tapi kesenian itu hidup dan berkembang di Jember. Begitulah ruang Jemberan, diisi dengan beragam ekspresi seni dan budaya, tanpa harus risau dengan mana yang asli mana yang bukan.

Sebuah Pesan untuk Penguasa

Potensi seni dan budaya Jemberan sangatlah beragam. Itu adalah realitas dan berkah historis yang harus disyukuri dengan tindakan nyata, bukan sekedar gembar-gembor slogan. Para pelaku sudah menjalankan regenerasi, meskipun masih perlu pengembangan terkait kreativitas. DeKaJe terus berusaha menemani para pelaku untuk survive secara kreatif melalui event-event sederhana sembari memperluas jejaring, pelatihan, dan silaturahmi.

Gedruk Bumi Jember adalah sebuah “niat ingsun matek aji”, meminta secara tulus kepada Sang Penguasa Kehidupan, agar dilancarkan keinginan dan tujuan yang belum terlaksana karena berbagai hambatan dan permasalahan. DeKaJe, kaum muda dan warga Tegalgayam serta lembaga-lembaga pendukung dengan serius memperjuangkannya sehingga “kabul kajate”, terlaksana yang diinginkan.

Kalaupun Disparbud tidak menganggap penting semua yang dilakukan para pelaku seni-budaya, ya biarkan saja. Kalau memang demikian adanya, berarti sah-sah saja kalau para pelaku seni dan budaya di tingkat bawah yang biasa gotong-royong juga tidak menganggap penting apa-apa yang mereka lakukan terkait (proyek atas nama).

Apakah kegiatan tersebut bisa menyentuh aspek pemajuan kebudayaan sebagaimana diamanahkan undang-Undang? Apakah bisa memberikan dampak kepada para pelaku seni dan budaya di tingkat bawah serta masyarakat secara luas?

Biarkan masa dan massa rakyat yang akan membuktikan, kegiatan-kegiatan seperti apa yang benar-benar berdampak kepada pemajuan kebudayaan lokal dan benar-benar bisa dirasakan para pelaku. Dan, kalau sudah saatnya, energi pedanyangan dan doa-doa yang diutuhkan dalam gelaran dan gerakan akan membuka kuasa langit. (*)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button